Saturday, October 30, 2010

Belajar mencintai sesuatu yang saya benci

Saya benci menggambar. Titik.

Kalimat itu terlintas pikiran saya, ketika SMP kelas 1, saya diharuskan membuat satu gambar vas lengkap dengan beraneka motif. Saya menyerah, dan meminta om saya menggambarkan untuk saya. Tapi, ketika ujian akhir mendekat, saya panik, dan berlatih menggambar vas setiap hari. Hasilnya pun bagus, lengkap dengan segala motifnya yang gak kalah bagus dengan milik om saya. Tapi, ujian akhir mengharuskan saya menggambar kuda. Sambel.

Kalimat itu juga terlintas, ketika saya SMP kelas 2. Saya malahan kali ini bersumpah untuk tidak mengambil jurusan yang mengharuskan saya menggambar. Tapi, waktu itu, saya menggambar hiasan untuk Paskah, dan terpilih untuk di pajang di suatu acara Paskah di SMP. Itu satu-satunya gambar saya yang mendapat nilai 8, bukan 6, atau 6.5, nilai yang saya dapat biasanya. Tapi, memandang jauh kembali ketika saya SD, saya ingat, bahwa saya adalah satu di antara murid yang senang menggambar. Entah di buku pelajaran, ataupun buku tulis. Tidak peduli seburuk apa bentuknya, saya tetap menorehkan pena saya di atas kertas. Tapi, tante saya menemukan buku itu, dan memarahi saya. Dia pun melarang saya untuk menggambar, sejak saat itu. Mungkin karena hasilnya tidak bagus, atau sama sekali tidak masuk akal buat dia. Tapi, itu benar-benar mematikan kesukaan saya dalam menggambar.

Mungkin sejak saat itulah, saya membenci menggambar. Kemudian, saya memilih untuk masuk jurusan Game Design. Entah karena modal nekat, atau hanya kemakan omongan sendiri. Di kelas, saya mengalami kesulitan dalam menggambar. Ditambah saya harus bersaing dengan teman-teman saya yang sudah menggambar sepanjang hidupnya. Jujur, saya sempat menyalahkan tante saya waktu itu. Tapi, kemaren waktu buka album kerjaan saya di FB, untungnya banyak sekali orang yang memberi komen positif. Saya pun mulai merasa bahwa mungkin saya bukannya tidak punya bakat, hanya saja saya kurang berusaha, kurang sabar. Mungkin juga, saya tidak benar-benar membenci menggambar. Dan, rasanya kurang pantas untuk menyalahkan orang, padahal itu sebenarnya menunjukkan malasnya saya, dan mencari-cari alasan untuk tidak berkembang.

Kini saya menyadari, bahwa sesuatu yang kamu benci itu tidak selalu buruk, dan tidak selamanya juga kamu akan membenci hal itu. Saya pun mulai perlahan-lahan membangkitkan perasaan yang pernah saya punya waktu kecil. Saya mulai belajar lagi, untuk mencintai sesuatu yang (pernah) saya benci itu, yaitu menggambar. :)

Integritas. Punyakah Anda?

hey... semuaa.. maaf sudah jarang update.. heheeh... maaf, sudah lama terperangkap dengan rutinitas kuliah, yang terkesan klise, tapi ini memang kenyataannya. Tapi, berterimakasih kepada teknologi jaman sekarang, saya pun menyeruak sejenak dari rutinitas. Pasalnya, ada 3 teman saya yang berjanji untuk liburan bareng, tapi sudah hampir dekat dengan hari Hnya, teman gue yang satu membatalkan hanya dengan lewat SMS. Kedua teman yang lain marah, selain karena dibatalin secara dadakan, juga karena cuman di informasikan lewat SMS. Sebuah cara yang sangat sangat sopan menurut saya untuk membatalkan janji dengan teman, apalagi kedua teman saya sudah membeli tiket pesawat dengan harga yang tidak sedikit. Entahlah bagaimana kelanjutan kisah mereka, saya berusaha cuman jadi penonton di pinggir ring (kenapa mesti di ring yaa?? haha)

Tapi, saya sebenarnya tidak begitu kaget dengan teman saya yang satu ini. Dia sering sekali membatalkan janji dengan kita di saat-saat sudah mepet,entah apapun acaranya, dengan seribu satu alasan. Entah kenapa, dia sering sekali lolos dari hamukan-hamukan masal. Cuman, yang mau saya garis bawahi di sini bukan bagaimana cara dia sering sekali lolos (karena jujur saja, saya tidak tertarik untuk membahasnya, dan bukan urusan saya), tapi bagaimana sifat dia yang suka membatalkan janji. Entah karena dididik dengan sabetan bambu di paha, atau 2 tante galak di rumah, saya berusaha sekali untuk mempertahankan integritas saya. Ya, integritas. Mungkin itu sesuatu yang teman saya tidak punya. Menurut saya, ketika saya membuat janji dengan teman saya, di situ saya sudah menaruhkan integritas saya. Mungkin ini terasa berat, jika hanya sekadar janji jalan-jalan, tapi jika janji ini menyangkut sesuatu yang penting? apakah bisa di sepelekan?

Saya tidak mau menjelek-jelekan teman saya, tapi dari dia, saya belajar pentingnya memiliki integritas dalam hidup. Betapa pentingnya untuk selalu konsisten, baik itu ketika kita bicara, maupun melakukan sesuatu. Banyak orang yang bisa berbicara sesuatu yang berbobot, tapi berapa persentase dari kelompok itu yang sebenarnya melakukan hal yang mereka bicarakan. Jika kita tidak memiliki integritas, pada akhirnya kita hanya akan di sepelekan orang. Toh, kita tidak mau hal itu terjadi kan? Makanya, belajar dari pengalaman teman-teman saya itu,, saya pun mencoba untuk bertanya pada diri saya sendiri "apakah saya masih memiliki integritas??"

Lalu.. bagaimana dengan anda?

Friday, October 15, 2010

hey,, akhirnya saya berbicara lagi

Kini, saya hidup di sebuah dunia yang benar-benar baru. Tidak ada lagi orang tua yang bisa selalu di hubungi setiap kali kesulitan, tidak ada asisten rumah tangga yang akan datang setiap kali suara saya melengking memanggil nama mereka, tidak ada lagi kotoran yang dengan ajaibnya lenyap begitu kita menginjakkan kaki keluar rumah. Semuanya harus saya lakukan sendiri.

Tidak. Saat ini saya tidak sedang mengeluh. Saya cuma heran, betapa besarnya peran orang-orang di sekitar saya, yang dulu tidak saya perhatikan, dan kini mulai saya rindukan saat ini. Mulai dari kuli di bandara, sampai asisten rumah tangga, saya mulai merindukan mereka satu per satu. Tinggal sendiri juga membuat saya sadar betapa manja saya dulu, dan sedikit heran mengapa sampai saat ini saya bisa bertahan hidup mandiri. Tapi mau bagaimana lagi, inilah resikonya menuntut ilmu di luar.

Menuntut ilmu di luar... hmmm... kedengarannya seperti hebat ya? layaknya papan Hollywood yang berkelap kelip pada saat di lihat dari kejauhan. Namun, kenyataannya itu berat. Semuanya harus dilakukan sendiri, belum lagi dengan gegar budaya, dan kesulitan berkomunikasi. Apalagi jika saya sedang mengalami krisis emosional. Sempat sebal dengan film Laskar Pelangi, yang menggambarkan mengejar impian itu seperti sesuatu yang indah, seru, dan menyuntikkan idealisme semu ke otak orang-orang naif, menimbulkan euforia tentang mengejar impian. Tapi, sambil tersenyum saya pun bilang kepada diri saya sendiri "hey, itu kan film. Sudah seharusnya itu terlihat indah. Dan ini realita. Sudah seharusnya terasa pahit"

Terasa pahit, ataupun tidak, inilah jalan hidup yang sudah saya pilih, dan saya tetap ingatkan saya sendiri mengenai hal itu. Jujur, tiba-tiba saya teringat pembicaraan teman saya yang membahas soal jurusan kuliah saya ini. Iya, saya kuliah di jurusan Game Design, tanpa background seni sama sekali. Teman saya sempat mengkhawatirkan keputusan saya itu, namun hey, saya sedang euforia Laskar Pelangi waktu itu. Mana mungkin saya dengar (tertawa). Tidak sepenuhnya demikian,, namun, saya sangat yakin pada saat itu. Namun, sekarang, saya sempat merasa "apakah jurusan saya ini benar?" Mengingat teman-teman sekelas saya sudah lebih berpengalaman di bidangnya, ataupun sudah belajar hal itu sebelumnya, membuat saya jujur minder. Dan perasaan itu membuat saya mengingat pembicaraan saya dengan teman saya itu lagi dan mengulang pertanyaan yang dilontarkan dia waktu itu "Apakah elo yakin dengan pilihan elo, Fan?" Kemudian, saya diam, sempat merenung, dan khawatir setengah mati apakah saya akan menjadi salah satu mahasiswa yang putus tengah jalan?. 10 menit kemudian, saya tertawa. Selenting kalimat terlintas di pikiran "Jaman sekarang mana ada yang gampang. Mau elo pindah jurusan ya Fan, gak ada bedanya, semuanya sama-sama susah." Saya pun menyadari bahwa pada saat saya belajar entah itu research game, ataupun menggambar, saya sebenarnya menikmati proses pembelajaran itu, tapi semuanya itu tidak jadi nikmat pada saat saya lihat hasil karya teman yang bersinar-sinar saking bagusnya. Tapi kini saya sedang berusaha menghapuskan rasa minder itu perlahan-lahan, dan mulai fokus untuk belajar. Kalo minder mulu, kapan mau majunya? Saya tau, mungkin cerita saya tidak seindah Laskar Pelangi, tapi setidaknya cerita saya lebih nyata daripada cerita Ikal.

Dan saya tau, mungkin post ini siap akan jadi omongan mulut-mulut usil yang gak tahan buat komentar, mengkritik tanpa ampun, tanpa melihat bahwa hidup mereka sendiri gak sama bagusnya kayak hidup saya. *maaf, saya berbicara kenyataan, dan saya tidak emosi* Tapi saya yakin, ada akan orang-orang yang bertitel "Teman", yang siap akan membela saya tanpa ampun, dan mendukung saya secara tulus, setiap kali saya sedang letih bertempur dengan realita.

Sekali lagi,, saya tidak berpikiran untuk pindah jurusan ya.. jadi siapa pun yang tau mama saya, jangan bilang gitu. Bisa di gorok saya.. hehehee..
Dan saya tidak gengsi sama sekali untuk menunjukkan bahwa saya pernah memiliki keraguan "apakah saya masuk di jurusan yang benar?". Karena saya manusia, ada saatnya saya lemah, dan ada saatnya saya kuat.