Thursday, May 27, 2010

Di jodohin?? Enggak banget deh...

Baru saja selesai membaca "Mahabrata" dan "The Palace of Illusions", membuat saya berpikir mengenai pernikahan. Pernikahan pada jaman itu,, selalu terjadi atas dasar politik yaitu untuk mengikat aliansi dengan istana lain, di mana sang perempuan tidak memiliki hak istimewa untuk memilih pasangan hidupnya. Dan sebenarnya itu masih terjadi pada masyarakat India. Banyak masyarakat modern yang menolak ide "dijodohkan" itu sebagai sesuatu yang negatif. Tapi, apakah benar demikian?

Banyak yang berpikiran bahwa menikah dengan cara dijodohkan itu pasti tidak bahagia. Keduanya belum tentu cocok lah, belum tentu saling kenal sebelumnya, dan sejuta alasan lainnya. Namun, toh saya masih menemukan pasangan-pasangan yang bahagia di karenakan mereka dijodohkan. Seperti guru matematika saya. Ketika ditanya kenapa bisa cocok, dia pun hanya menjawab 'cinta datang karena biasa'. Lalu, apa yang membuat selama ini orang berpikiran bahwa dijodohkan itu negatif??

Apakah mungkin, hal ini disebabkan oleh arogansi seseorang? Yang menganggap bahwa dengan dia dijodohkan berarti dia membiarkan orang lain mengatur hidupnya? Atau malahan, dia beranggapan bahwa seseorang yang bukan ia pilih sendiri, pasti bukanlah seseorang yang cocok untuknya? Mungkin, terpengaruh dari cara pemikiran barat, seseorang beranggapan bahwa ia bebas memilih segala keputusan dalam hidupnya, termasuk dalam pemilihan pasangan hidup. Namun, apakah itu selalu berjalan dengan baik??

Ironisnya, suatu pernikahan yang tidak melalui jalur perjodohan, sering kali berakhir dengan kata "bercerai". Walaupun, sebenarnya itu kembali pada individu masing-masing. Tapi, dengan mendengar kenyataan ini, bukankah itu membuat perjodohan suatu pilihan yang lebih baik? Jika hasilnya baik,, maka kita beruntung.. jika itu tidak berhasil, maka maklum, karena di jodohkan..

Friday, May 7, 2010

Aku, Jakarta, dan San Fransisco

Hanya dalam hitungan minggu saja, saya akan hengkang dari Jakarta. Layaknya menghitung mundur peluncuran roket, dalam sekejap mata saya juga akan meluncur ke San Fransisco. Masalahnya? Saya belum siap pergi.. Bukan karena saya banyak kerjaan di Jakarta, atau saya begitu senaang nganggur.. Bukan.. Lebih kepada sisi sentimental, bahwa saya akan pergi lama dari tanah air, guna menuntut ilmu di negara orang.

Saya begitu senang, saya memiliki kesempatan untuk pergi belajar di negara orang. Sebuah kesempatan yang tidak semua orang bisa mendapatkannya. Saya bersyukur kepada Tuhan, yang memperbolehkan saya menikmati kesempatan ini. Hanya saja, saya benar-benar sedih untuk pergi. Di sisi lain, ibu saya yang lebih melihat dari sudut pandang kepraktisan, sudah membombardir saya dengan keperluan-keperluan bertahan hidup. Saya pun jengah. Saya ingin bilang, berikan saya waktu setidaknya 1 minggu, untuk benar-benar enggak ngurusin sekolah dulu. Tapi, jika bukan sekarang, kapan lagi ya??

Saya tahu, teman-teman saya akan bilang: "Kalo elo gak pergi sekarang, kapan lagi??" Saya tahu, saya akan mendengar itu dari teman-teman saya. Tapi, mengertikah kamu, sisi sentimental dari sebuah kepergian? Bahwa saya akan kehilangan sesuatu di Jakarta, bahwa saya akan merindukan sesuatu dari Jakarta. Mungkin, semua ini akan lenyap dalam benak saya, seiring dengan kesibukan kuliah, atau bahkan menemukan penggantinya. Tapi.. tidak bisakah anda sekalian membiarkan saya menyerapi saat-saat sentimental saya, sebelum saya pergi??

Wednesday, May 5, 2010

Angkatlah tanganmu untuk menulis

Baru saja bertemu dengan teman lama. Baru saja bertukar pandang tentang hidup, tentang semua yang sudah kita alami sejauh ini. Baru saja pulang setelah berjanji akan bertemu lagi 6 bulan ke depan.

Dan dia memberikan saya buku. Buku tentang jurnal perjalanan seorang anak muda berusia 25 tahun ke India. Tidak ada yang spesial mengenai buku ini, selain maksud pembuatan buku ini untuk merayakan setahun meninggalnya anak muda ini.

Saya buka, saya baca, dan saya merenung. Saya pun sadar, bahwa menulis memberi arti tersendiri dalam kehidupan seseorang. Menulis meninggalkan suatu eksistensi atau setidaknya tanda bahwa kita pernah ada di dunia ini, bahwa kita pernah berada di suatu lingkungan tertentu. Menulis membuat orang tahu tentang apa yang pernah kita capai, apa yang pernah kita lihat,dan apa yang ada dalam benak kita.

Sejujurnya, saya tidak pernah menyangka bahwa dengan menulis, sebenarnya kita sedang membuat sejarah mengenai keberadaan kita di dunia ini. Iya, semua orang akan mati pada akhirnya. Namun, keberadaan orang itu akan tetap diingat di benak orang lain ketika orang tersebut mengangkat pena nya, dan mulai menulis.

Topik yang cukup berat di tengah malam?? mmmm.. saatnya saya tidur hehehe :)