Dari gue lahir, bernafas untuk pertama kalinya, berjalan, hingga bersekolah sampai saat ini, gue hidup dengan orientasi “Salah dan Benar”. Walaupun mungkin dalam post gue sebelumnya, gue bilang bahwa gue belajar untuk melihat dunia dengan sudut pandang abu-abu alias berusaha seobyektif mungkin. Tapi gak disangka, orientasi gue belum berubah. Gue masih memiliki orientasi itu. Bukannya gue berusaha kurang keras. Tapi itu adalah sesuatu yang diajarkan keluarga gue, jadi (mungkin) sudah mendarah daging dalam tubuh gue.
Gue tumbuh di lingkungan keluarga yang mendidik anak-anaknya cukup keras. Bisa dibilang masih sangat kolot. Di keluarga gue, setiap anak bener-bener dididik keras, untuk menghormati orang tua, dan tidak melakukan sesuatu yang melanggar kehendak orang tua. Jadilah, gue dan mungkin sepupu-sepupu gue, dinilai berdasarkan “benar-tidaknya” tindakan kita di mata orang tua. Dasar “benar-tidaknya” tindakan kami pun berdasarkan orang tua, yang bisa dibilang obyektif. Waktu gue kecil, gue bener-bener gak berdaya buat ngelawan tante-tante gue yang beringas itu. Setiap disuruh, gue gak pernah berani ngelawan. Makanya, gue masih kagum sama temen-temen gue yang berani ngelawan orang tua mereka. Begitu gue masuk ke sekolah Global Jaya, gue diharuskan untuk berpikir secara kritis. Berpikir secara “Mengapa hal itu bisa terjadi? Dan bagaimana hal itu terjadi?” Dan sejak saat itu, gue pun mulai tau bahwa hidup tak selamanya dinilai dengan adanya kata “benar atau salah”.
Gue pun baru tau bahwa “benar itu RELATIF” Jadi, aspek-aspek dalam hidup kita, memang tidak sepenuhnya menjadi hal yang melulu “salah” ataupun “benar”. Tapi akhirnya, gue pun mulai ragu. Melihat temen-temen gue yang udah dicekokin cara berpikir secara kritis, beberapa dari mereka tumbuh menjadi seorang atheis. (Entah karena kepinteran, atau karena kata males bener-bener udah mendarah daging di otak dan nadi mereka, ataupun fase ikut-ikutan). Gue tau bahwa sebagai warga negara Indonesia yang baik dan benar, kita harus punya agama yang udah ditentuin pemerintah. Tapi temen-temen gue ini, saking kritisnya, malah menyalahi peraturan yang udah ditetapin negara. Dalam konteks ini, pemikiran kritis itu = REPOT, KURANG KERJAAN, GAK PENTING. Kalo pemikiran kritis, lantas membuat orang jadi gak punya agama (karena ia mempertanyakan keberadaan Tuhan), berarti itu jadi melenceng. Keberadaan Tuhan (yang selalu menjadi misteri buat semua orang) selalu menjadi pemicu seseorang menjadi atheis. Padahal, seseorang itu memiliki agama agar ia mempunyai pegangan hidup disaat lagi down. Untuk apa mereka mempertanyakan kuasa yang maha mulia itu dengan otak rasional. Sebenarnya kalo dipikir-pikir lagi, agama itu sebenarnya menjamin tempat kita di surga ( terlepas dari konteks orang-orang yang beragama tapi gak bener). Jadi untuk apa, mereka melepaskan sebuah kesempatan untuk mendapat tempat di surga itu. Kenapa sih mereka malah mempertanyakan keberadaan Tuhan, yang bikin malah jadi ribet. ( Di sini gue bukan mempermasalahkan kepercayaan orang atheis, hanya saja gue mencoba mengkritik sebuah pemikiran yang TERLALU kritis.) Adapun temen gue yang begitu KRITIS, jadinya malah CARI RIBUT. Karena SEMUA diperdebatin. Tapi di sisi lain, kalo seseorang gak mikir secara kritis, mungkin kita masih hidup di jaman batu. Karena gak ada orang-orang yang mikir outside the box. Jadi kita gak bisa menikmati penemuan-penemuan canggih, hasil pemikiran canggih mereka.
Mungkin itu juga sebabnya, kenapa orang Indo gak maju-maju. Kita selalu berpikir lewat aspek “benar atau salah”. Kalo misalnya si bos ngomel, karena menurut dia, kerjaan kita ada yang salah. Kita pun langsung nurut dan menerima secara mentah –mentah bahwa yang kita lakukan itu salah. Kita langsung berusaha memperbaiki pekerjaan kita, tanpa berpikir “kenapa?”.
Padahal, semuanya itu tergantung sudut pandang yang diambil oleh kita. Mungkin sebenarnya si bos waktu itu ngomel, karena bad mood, jadi penilaian dia atas pekerjaan kita jadi gak jelas.
Mungkin contoh gue jelek, dan kurang bisa mengilustrasikan maksud gue dengan cukup baik. Namun intinya, banyak orang-orang Indo itu masih memiliki orientasi pikiran “salah atau benar” tanpa memikiran lebih lanjut “kenapa hal itu bisa terjadi”. Bisa dibilang, orang-orang Indo, itu masih suka cari aman. Kita kurang menyukai konfrontasi, yang membuat kita, sebagai orang indo, jadi sulit maju. Mungkin inilah juga penyebabnya, kenapa kita masih mudah “disetir” negara lain. Kita tidak pernah mempertanyakan “mengapa hal itu bisa terjadi”, tapi mempertanyakan “benar atau tidak tindakan saya?”